To Live is Christ, To Die is Gain (2)
Hidup Adalah Kristus, Mati Adalah Keuntungan. • Sermon • Submitted
0 ratings
· 28 viewsThe world rightly fears death, because death is not part of God's original intent, yet even death, Jesus had conquered, that we, too, may pass from death to life—as Christians we no longer fear death, but live to die well, by dying daily to self, that we may obtain life. (Sermon originally delivered in Bahasa Indonesia, but points are translated to English as well).
Notes
Transcript
To Live is Christ, To Die is Gain
To Live is Christ, To Die is Gain
Theme: To Live is Christ, To Die is Gain
Thesis: The world rightly fears death, because death is not part of God's original intent, yet even death, Jesus had conquered, that we, too, may pass from death to life—as Christians we no longer fear death, but live to die well, by dying daily to self, that we may obtain life.
The idea of dying as enticing for Paul
The dilemma between life and death
The manner in which longing for death makes him live
Pembukaan
Selamat siang semuanya. Senang bisa bergabung bersama dalam ibadah Zoom ini. Kangen ya bisa kumpul-kumpul lagi. Tapi, Aku percaya bahwa ini adalah cara berkumpul dan beribadah yang paling faithful, dimana kita benar-benar berupaya untuk saling menjaga dan menghormati kehidupan yang telah Tuhan berikan.
Pandemi ini bukan hal yang seharusnya kita anggap remeh. Namun, juga bukan hal yang harusnya membuat kita ketakutan. Kita harus terus waspada, dan dengan segala kapasitas kita, berupaya untuk saling menjaga.
Tema pada bulan ini diambil dari salah satu ayat favorit saya dalam Alkitab, yaitu Filipi 1:21. “Hidup Adalah Kristus dan Mati Adalah Keuntungan.”
Menurut saya, ini sangat relevan, terutama dalam masa sekarang ini. Dimana kita melihat bahwa banyak orang yang ketakutan setengah mati, karena tiba-tiba kita semua dihadapkan dengan realita kematian. Yang tadinya tidak pernah memikirkan hal tersebut, sekarang tiba-tiba harus memikirkannya. Setiap hari kita melihat tingkat kematian dan juga orang-orang yang terpapar Covid makin tinggi. Dan banyak orang jadi parno.
Bagaimanakah kita sebagai orang Kristen seharusnya hidup di masa-masa ini? Teks kita hari ini akan banyak mengajarkan kita tentang hal ini.
Introduction
Theme of the month “to live is Christ, to die is gain” taken from Philippians 1:21, one of my favorite passages. This passage is deeply relevant for our current situation, in the midst of the pandemic. All of a sudden, we are faced with the reality of death. The world suddenly shuts down and nations isolate themselves from one another. How are we as Christians to live in such as season?
For to me to live is Christ, and to die is gain.
Mari kita sama sama buka Filipi 1:19-26:
19 karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus. 20 Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikian pun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. 21 Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. 22 Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. 23 Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus – itu memang jauh lebih baik; 24 tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu. 25 Dan dalam keyakinan ini tahulah aku: aku akan tinggal dan akan bersama-sama lagi dengan kamu sekalian supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman, 26 sehingga kemegahanmu dalam Kristus Yesus makin bertambah karena aku, apabila aku kembali kepada kamu.
Berdoa.
Kita baru saja membaca cuplikan dari surat Paulus kepada jemaat di Filipi. Filipi adalah salah satu kitab favorit aku, dan sering di julukan sebagai “The Book of Joy” atau Buku Sukacita, dalam dunia teologia. Yang menarik adalah, Paulus menulis surat ini kepada jemaat di Filipi dari penjara.
Banyak dari kita kalau mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, respons pertamanya adalah untuk merungut, komplain, ataupun bertanya-tanya kepada Tuhan. Jadi, bagaimana dapat Paulus memiliki sikap seperti ini?
Let us read together Philippians 1:19-26.
for I know that through your prayers and the help of the Spirit of Jesus Christ this will turn out for my deliverance, as it is my eager expectation and hope that I will not be at all ashamed, but that with full courage now as always Christ will be honored in my body, whether by life or by death. For to me to live is Christ, and to die is gain. If I am to live in the flesh, that means fruitful labor for me. Yet which I shall choose I cannot tell. I am hard pressed between the two. My desire is to depart and be with Christ, for that is far better. But to remain in the flesh is more necessary on your account. Convinced of this, I know that I will remain and continue with you all, for your progress and joy in the faith, so that in me you may have ample cause to glory in Christ Jesus, because of my coming to you again.
(Open in prayer). We have just read a portion of Paul’s letter to the church at Philippi. Philippians happens to be one of my favorite books in the Bible, and is often referred to as the “Book of Joy” in the theological world. It’s really interesting because Paul writes this letter while he was imprisoned.
Many of us tend to, when we are placed in seasons that are uncomfortable, complain and question God. So how does Paul have this attitude?
Read Philippians 1:19-21.
for I know that through your prayers and the help of the Spirit of Jesus Christ this will turn out for my deliverance, as it is my eager expectation and hope that I will not be at all ashamed, but that with full courage now as always Christ will be honored in my body, whether by life or by death. For to me to live is Christ, and to die is gain.
I. Kematian Adalah Hal Yang Menarik Bagi Paulus (The idea of dying is enticing for Paul)
I. Kematian Adalah Hal Yang Menarik Bagi Paulus (The idea of dying is enticing for Paul)
Dalam ayat ini, Paulus memberikan kita suatu proposisi yang sulit untuk dicerna. “Mati adalah keuntungan.” Dunia mengajarkan sebaliknya. Banyak orang mencoba sekeras mungkin untuk mempertahankan hidupnya. Di masa pandemi ini pun kita melihat betapa takutnya manusia akan kematian. Sampai, tiba-tiba, seluruh dunia lockdown, dan menutup diri dari yang lain. Bagaimana dapat Paulus mengatakan bahwa kematian adalah hal yang menarik, bahkan, adalah keuntungan?
Apakah sang Paulus orang yang depresi, sampai ia ingin mengakhiri hidupnya? Bukankan hidup itu berharga?
Ya, memang hidup itu berharga—karena siapa kah yang memberi nafas kehidupan kalau bukan Tuhan sendiri? Tuhan yang memberikan kehidupan, dan hanya Tuhan yang berhak mengambil nyawa. Kematian pun bukanlah bagian dari ciptaan awal Tuhan.
Kalau kita kembali ke kitab Kejadian, kita melihat bahwa kematian pertama kali ada, sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Dimana manusia melanggar perintah Tuhan, dan upah dosa ialah maut.
Jadi apakah kita sebagai orang Kristen boleh apatis terhadap kematian? Tidak. Sebaliknya! Karena kita mengetahui bahwa kematian bukan bagian dari ciptaan awal Tuhan—dan adalah akibat dari dosa. Maka dari itu, kita seharusnya berduka. Kita seharusnya berduka dengan orang-orang yang kehilangan, yang merasakan sakitnya peninggalan dari seseorang yang dikasihi, dan kita memang seharusnya marah atas adanya kematian. Karena kematian tidak sepantasnya ada di dalam dunia yang Tuhan ciptakan.
Jadi bagaimana dapat sang Paulus berkata “kematian adalah keuntungan?” Kita tidak akan dapat sampai di konklusi ini tanpa kaca mata Injil.
Kematian memang tidak seharusnya ada. Namun kita semua memang seharusnya menanggung upah dari dosa kita, yaitu kematian sendiri. Namun, Yesus, sang Raja yang tak bernoda. Turun ke dunia sebagai bayi di palungan, untuk menanggung semua dosa-dosa kita, dan telah mati di kayu salib bagi umat manusia.
Ia yang tidak seharusnya, tidak sepantasnya mengalami kematian, telah mati bagi kita. Akan tetapi—Injil tidak berhenti pada kematian Kristus. Kalau kematian Kristus adalah akhir dari cerita ini, kita tidak akan punya harapan. Namun, Kristus yang sama telah mengalahkan maut dan bangkit, dan dengan kebangkitan-Nya Ia telah menjubahkan kita dengan hidup-Nya.
Maka dari itu, Paulus bisa berkata, “Kematian adalah keuntungan!” Karena setelah kita mati, kita dibangkitkan dengan-Nya. Dan dalam kebangkitan, kita dapat berjumpa dengan Juruselamat kita, dan tinggal bersama-sama dengan-Nya di sorga, dimana tidak ada lagi kesedihan, kesukaran, kesusahan. Tidak ada penyakit, maupun dosa.
I. The idea of dying is enticing for Paul
I. The idea of dying is enticing for Paul
Here Paul says “to die is gain.” This is a hard saying. If we look to our situation today, many people are grappling for their dear lives. So how does Paul say this? Is Paul depressed that he wants to end his life? Is life not precious?
Oh surely, it is! For who gave us the breath of life, if not God Himself? God gives us life, and only He rightfully may take away a life. Death, too, isn’t part of God’s original creation. If we look to Genesis, we see that death first entered the world when man sinned against God. For the wages of sin is death.
So how are we as Christians to view death? Can we be apathetic towards death? By no means! Because we understand that death is the result of sin, we must grieve at death. We must grieve with those who have lost loved ones, those who have suffered the departure of those near—we rightly should be angry at death. Because death should not be part of God’s good world.
So how can Paul say “to die is gain?” We cannot come to this conclusion without a Gospel lens.
Surely, death should not have been part of God’s good creation. Yet, all creation had sinned against God and so deserve the punishment—that is, death. However, Jesus, the True Blameless one came as a baby in a manger, to bear the sins and iniquities of His people, and died on the cross.
He, who, should never have faced death, died for us. But the story doesn’t end there. For if the story ends at the cross of Christ then we are to be most pitied! Instead, this same Christ died and rose again. He defeated death and rose, and in His resurrection, He clothes us with His righteousness.
Hence, Paul could say “to die is gain!” Because after we die, we shall be resurrected with Him! And on that day of resurrection, we shall see our Savior, face to face. We shall be with Him in heaven, where there are no longer tears, sadness, hardship. There will no longer be sickness, nor sin.
Read Philippians 1:21-24.
For to me to live is Christ, and to die is gain. If I am to live in the flesh, that means fruitful labor for me. Yet which I shall choose I cannot tell. I am hard pressed between the two. My desire is to depart and be with Christ, for that is far better. But to remain in the flesh is more necessary on your account.
II. Dilema Antara Hidup Dan Mati (The dilemma between life and death)
II. Dilema Antara Hidup Dan Mati (The dilemma between life and death)
“Mati adalah keuntungan.” Kata Paulus. Tapi Paulus tidak berhenti disitu saja. Karena Jika Paulus hanya menginginkan kematiannya, kita bisa berkonklusi bahwa Paulus adalah orang yang tidak berpengharapan. Paulus berkata, “bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
Bedanya seorang Paulus dengan orang yang telah putus asa—karena memang mudah untuk putus asa ketika kita mengalami banyak pencobaan. Ingat, Paulus pada saat itu menulis dari penjara. Jadi mungkin lebih natural untuk dia menjadi putus asa.
Namun Paulus menekankan, Bahwa “hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan”—maka dari itu, ia berada dalam suatu dilema, dimana ia menginginkan keduanya. Bahkan sampai ia tidak tau apa yang ia harus pilih.
Inilah dilema orang Kristen yang sesungguhnya—yang mengetahui bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan kita, melainkan awal dari kehidupan kekal bersama Tuhan kita. Dan bahwa hidup kita di dunia itu memiliki tujuan, bukan untuk kepentingan diri kita sendiri, melainkan untuk kebaikan dan kepentingan orang lain, untuk kemuliaan Tuhan.
Ini sangat berbeda dengan persepsi dunia tentang kehidupan. Dunia mengajarkan bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah jika kita mencapai hal-hal yang meninggikan diri kita sendiri. Untuk menjadi populer, kaya, terkenal, dihormati, dipandang, disegani… Pantas orang banyak yang takut mati. Karena dunia mengajarkan untuk menghimpun kekayaan dan kejayaan di dunia ini. Namun Firman mengajarkan sebaliknya. “Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
II. The dilemma between life and death
II. The dilemma between life and death
“To die is gain,” says Paul. But he doesn’t stop there. For if all he talks about is the enticement of death, then he must be one who has no hope! He must be one who is depressed and perhaps suicidal. But Paul says, “to live is Christ and to die is gain.”
The difference between Paul and one who has no hope—for it surely is easier to lose hope when faced with circumstances as that which Paul was facing. Remember, Paul was in prison at that time.
Yet Paul emphasized that “to live is Christ, to die is gain,” which reveals to us how he desires both. To the point that he is at a dilemma where he does not know which to choose.
This is the true Christian dilemma—one that knows that death is not the end of our lives, but the start of our eternal life with our Lord. And that in our lives, we have been given a purpose—not for our own sakes, but in service of others and for the glory of God.
This is completely different from that which the world teaches. The world teaches that true living is when we achieve the things that put us on a pedestal. To be popular, rich, respected, feared—no wonder many people fear dying. Because they have been so engrossed in the narrative of piling up wealth and glory in this world. But the Bible teaches us of a different way: “To live is Christ, to die is gain.”
Read Philippians 1:23-26.
I am hard pressed between the two. My desire is to depart and be with Christ, for that is far better. But to remain in the flesh is more necessary on your account. Convinced of this, I know that I will remain and continue with you all, for your progress and joy in the faith, so that in me you may have ample cause to glory in Christ Jesus, because of my coming to you again.
III. Bagaimana Kita Seharusnya Hidup Dengan Memandang Kepada Kematian (The manner in which longing for death makes him live)
III. Bagaimana Kita Seharusnya Hidup Dengan Memandang Kepada Kematian (The manner in which longing for death makes him live)
Dengan dilema yang dihadapinya, bagaimana dapat Paulus tetap setia kepada Tuhan? Bagaimana dapat dia menjalani hidup, dengan memandang kepada kematian yang dinanti-nantikannya?
Pandangannya kepada kematian tidak terpisah dari apa yang telah Tuhan Yesus lakukan baginya. Ia dapat memandang kepada kematiannya yang akan datang dengan gembira, karena ia mengetahui bahwa Yesus telah menjaminkan kebangkitannya.
Paulus bukannya menantikan kematian agar ia dapat kabur dari penindasan yang ia rasakan pada saat itu—karena mudah untuk melakukan ini. Aku sendiri kalau mau jujur, seringkali mengucapkan doa “Tuhan udah ambil aku aja” bukan karena aku ingin berjumpa dengan-Nya, tapi karena ingin kabur dari situasi di dunia. Mudah sekali untuk kita mengucapkan “mati adalah keuntungan” sebagai alasan untuk “escape” atau kabur dari masalah ataupun kesukaran di dunia ini.
Namun untuk Paulus—ia menantikan hari dimana ia dapat berjumpa dengan Juruselamatnya, muka tatap muka.
Juruselamat yang telah meletakkan segala kemewahannya, untuk datang sebagai Hamba. Tuhan yang mengosongkan diri-Nya, agar Ia dapat tinggal bersama manusia ciptaan-Nya, memberikan contoh bagi mereka, dan mengorbankan diri-Nya bagi mereka.
Disinilah kita belajar tentang salah satu paradoks Kekristenan yang tidak mudah dicerna:
III. The manner in which longing for death makes him live
III. The manner in which longing for death makes him live
With the present dilemma, how does Paul live faithfully unto God? How can he live his life, while looking to and longing for death?
His longing for death, again, is not removed from what Jesus had done for him. He was able to look towards death with deep gladness because he knows that Christ had promised his resurrection.
Paul was not looking forward to death because he wanted to escape the present sufferings he felt—for is it not easy to do so? Because honestly, for me perhaps this has often been the case, that I’d pray “Lord take me!” not because I truly longed to be with Him, but because I wanted to escape from my present realities.
Yet for Paul—he longed for the day that he’d see his Savior, face to face.
This Savior, who had left all majesty, to come as a servant. The God who emptied Himself, that He could live with His creation, to be unto them an example, and to sacrifice His own life for their sakes.
This is where we learn of one of the greatest Christian paradoxes: Matthew 10:39.
Whoever finds his life will lose it, and whoever loses his life for my sake will find it.
“Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Matius 10:39)
Jika hari ini kita masih diberi Tuhan nyawa. Diberi nafas—ketahuilah ini, hai orang Kristen: bahwa Tuhan Yesus telah menebus hidupmu dengan darah-Nya yang mahal—agar kamu dapat mengikuti jejak-Nya, agar dalam, setiap hari, kamu dapat tanggalkan dirimu dan kenakan Kristus.
Dalam pekerjaanmu, kenakan Kristus—agar orang lain dapat melihat pekerjaanmu dan memuliakan Bapa mu yang di Sorga.
Dalam kehidupan keluargamu, kenakan Kristus—agar mereka semua dapat mengenal-Nya dan merasakan betapa baiknya hidup dengan-Nya dan untuk mengikuti perintah-Nya!
Dalam masa pandemi ini pun, kenakan Kristus—janganlah takut kematian, sampai kita mengucilkan orang-orang yang terpapar covid, ataupun menyalahkan satu sama lain, tapi jagalah satu sama lain karena kita semua adalah manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Tuhan—hidup adalah berharga!
Dalam kesusahan ekonomi yang menurun, kenakan Kristus—agar kita tidak Hanya mementingkan diri sendiri, melainkan memikirkan orang-orang yang Tuhan telah percayakan dalam kehidupan kita, baik keluarga, kerabat, maupun orang-orang sekitar kita.
Dalam segala sesuatu, kenakan Kristus—agar orang lain dapat maju dan bersukacita dalam iman, dan agar Kristus saja lah yang dimegahkan dalam kehidupan, maupun kematianmu.
“ Whoever finds his life will lose it, and whoever loses his life for my sake will find it.”
So if today, you have breath in your lungs, know this, O Christian: that Christ had died for you and purchased you with His priceless blood. That you may walk in His steps and, in every day, lay down self, and put on Christ.
In your work, put on Christ—that others may look to you and glorify your Father in heaven.
In your relationships, put on Christ—that others may know Him and know how good it is to dwell with Him and walk in His ways.
In this pandemic, put on Christ—do not fear death, that we exclude and oust others, nor point blame on others, but instead, may we honor and serve and protect one another as image bearers of the Most High God—life is precious indeed!
In this economic downturn, put on Christ—so that we do not only think about our own selves, but others whom God has entrusted in our lives, be it our families, relatives, friends, or those around our vicinities.
In all things, put on Christ—that others may, progress and have joy in the faith, and have ample cause to glory in Christ Jesus—whether in your life, or in your death. May the name of the Lord be praised.